09 Desember 2008

Pengamen Yang Ku Temukan


Pengamen Yang Ku Temukan
Mochammad Moealliem

Lama rasanya aku tak memberi kesempatan jariku menari di panggung keyboard, dan membiarkan otakku terpasung oleh paku bumi nusantara yang sejak lama kurindukan, kutatap erat semua yang bisa dicapai mataku yang kebetulan harus berkacamata untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebab jika tanpa kacamata aku hanya mampu memandang dalam jarak dekat. semua yang berjarak agak jauh akan terlihat sama buruknya, alias sama buramnya baik cakep atau jelek terlihat sama-sama tidak jelas.



Akan tetapi ketika aku memakai kacamata, orang cakep di kejauhanjarak pun tampak jelas, apalagi yang buruk lebih tampak jelas, apalagi sifat manusiawi selalu mengajakku terseret pada pepatah lama, semut diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Bukan hanya itu tentunya dengan kacamata fisik aku dapat melihat jerawat orang walaupun aku tak bisa melihat jerawatku sendiri yang menghias langit dengan bintang-bintang yang tak bersinar di wajahku.

Dulu ketika saya masih di Mesir, sebagai mahasiswa pecinta lingkungan, saya suka berkeliling dengan menikmati bus kota yang mirip eropa (yang mirip hanya berjalan di sebelah kanan dan sopir di bagian kiri he3) setidaknya saya dapat memadukan dengan apa yang pernah kulihat di Indonesia, dimana para penghibur perjalanan begitu banyak dan berkelas, meski masih dalam tingkat jalanan. Hal demikian tak pernah saya temukan selama di Mesir, pengamen kelas bus kota raib di telan budaya, hanya pengamen kelas kafe dan panggung yang masih dapat bernafas.

Pernah kadang saya timbul rasa kangen pada penghibur perjalanan, apalagi yang membuat kita tertawa mengurangi kepenatan dalam perjalanan jauh, namun itu tak terpuaskan ketika kita berada di Mesir, dan terkadang kita rindu suasana Indonesia (asal gak berlebihan he3). Setidaknya kita akan idealis dengan suasana yang kita rindukan, kalau pengamen maunya lagunya yang bagus, wajahnya yang cakep, kreatif, dan tidak memaksa.

Akhirnya dalam tiga bulan terakhir aku menemukannya dengan berbagai corak yang khas, seperti seorang yang baru lahir tentu akan kaget dan menangis, tanpa aku tahu alasan yang pasti kenapa menangis dulu sebelum tertawa? namun aku tidak menangis, aku hanya prihatin dengan negeriku, ketika zaman berubah tak kenal henti, hingga kreatifitas itu harus berubah menjadi kriminalitas..

Dulu sebelum saya pergi ke Mesir, saya menemukan pengamen yang kreatif, lagunya bagus, tidak memaksa. Kemarin ternyata aku menemukan kembali, meski sebelumnya saya juga menemukan orang-orang yang tak kreatif, lagunya gak jelas, memaksa dengan berkata “tolong dihargai!”, padahal sudah saya berikan dua keping uang 500 an, ada apa gerangan?

Ada juga yang ngasih hiburan gratis bahkan dia bukan pengamen, dia adalah pedagang kipas angin tanpa listrik, dia bilang “kipas tanpa listrik, kalau nyetrum uang kembali” ya memang dia benar, soalnya kipasnya dari anyaman bambu, orang jawa menyebutnya “tipas”.

Ada juga yang bernyanyi tiga lagu, namun tak minta di hargai seperti yang diatas, terkadang terbesit, bahwa akan saya hargai orang-orang yang kreatif, dan saya pikir hanya orang-orang kreatif yang akan bertahan lama dalam mengarungi hidup dalam sisi apapun, terlebih jika hidup di kota Jakarta. Segala sesuatu adalah berujung pada duit, dan itulah realita yang ada, fasilitas umum yang gratis hanyalah “no smoking area”.

Kupandangi orang-orang yang sedang membuat sejarah bagi diri mereka di kota Jakarta, setidaknya aku bisa memetik sedikit ilmu tentang kehidupan secara nyata, dimana selama ini saya hidup dalam ranah teori dan konsep, yang tak cukup mudah teori dan konsep itu kita terapkan pada lingkungan, terlebih lingkungan yang bervariasi, dan waktunya terkuras untuk kerja, yang sangat berbeda ketika kita bermasyarakat ala mahasiswa mesir yang kebanyakan pengangguran, satu golongan, dan punya daya pikir yang setaraf, kalau pun hal itu boleh dianggap miniatur sebuah negeri tercinta, tentunya belum bisa mencukupi jika kita tidak turun langsung.

Ternyata apa yang kita rindukan tak menjanjikan kebahagiaan, mungkin hanya satu hal yang bisa membuat kita bahagia merindukannya, dia adalah Pemilik kerinduan, hanya saja gerbangnya adalah kehidupan dan kematian, gerbang kematian akan mengantar kita menuju ruang tunggu hingga mendapat waktu giliran, namun gerbang kehidupan akan mengantar kita pada ruang rindu pada ciptaan, dan itu bisa terwujud ketika manusia mulai melangkah dalam pernikahan, ujungnya pun adalah gerbang kematian, tentunya untuk mencapai Sang pemilik kehidupan akan mengalami etape-etape yang perlu dilakukan, sebagaimana Ibrahim telah mempraktekan hingga kita kenang, sebuah perjuangan pembuktian kerinduan pada yang seharusnya, yang harus berhadapan dengan perasaan yang mengiris-iris, dari sejak sejak lahir hingga darah tak lagi mengalir. sejarah begitu indah dan membuat kita tersenyum, namun membuat sejarah adalah perjuangan yang tak mampu digambarkan.

Allim
Tangerang, Selasa 08 Desember 2008
Fa ammas saila fala tanhar



[+/-] Selengkapnya...

10 Artikel Populer