Malu
adalah sifat yang mulia sebagaimana yang banyak disampaikan oleh ajaran agama,
terlebih budaya nusantara yang kaya akan budaya yang seirama dengan ajaran
Islam tentang bersifat malu, namun ada juga malu yang harus dibuang dalam
kehidupan ini yaitu malu bertanya atas apa yang tidak diketahui.
Banyak
orang karena merasa malu untuk bertanya, maka akibatnya melakukan beberapa hal
baik namun tidak sesuai aturan, bahkan merusak nilai kebaikan tersebut.
Berkembangnya radikalisme dalam
beragama adalah salah satu bentuk nyata dari sikap malu bertanya kepada ulama,
hingga kemudian menyeret dalil-dalil agama sesuai kemauan mereka, memaknai ayat
dengan sepotong-potong, dan berijtihad tanpa keakuratan yang layak, bahkan
terkadang menganggap dia sendiri yang beriman dan yang lain dikafir-kafirkan,
sementara rasulullah sendiri mewanti-wanti umat Islam untuk tidak menuduh orang
lain terutama sesama muslim sebagai orang kafir, musyrik dan munafik.
Kenapa demikian, karena barang siapa
mengatakan saudaranya kafir, musyrik dan munafik namun ternyata yang dituduh
tidak kafir, maka penuduhnyalah yang kafir sebagaimana pesan nabi:
"Barangsiapa
berkata kepada saudaranya, 'Hai kafir, maka sesungguhnya kalimat ini akan
kembali kepada salah seorang di antara mereka."
( Muttafaq
'Alaih dari Ibn Umar,al-Lu'lu' wa al-Marjan, hal 39 )
Maksud
hadith diatas adalah kalau tuduhan kafir akan mengenai salah satu dari penuduh
dan yang dituduh, jika yang dituduh tidak kafir maka penuduhlah yang menjadi
tempat kembalinya kalimat itu.
Satu hal
yang sangat penting disini ialah kemampuan untuk membedakan tingkat kekufuran,
kemusyrikan, dan kemunafikan. Setiap bentuk kekufuran, kemusyrikan dan
kemunafiqan ini ada tingkat-tingkatnya.
Akan
tetapi, nash-nash agama menyebutkan kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafikan
hanya dalam satu istilah, yakni kemaksiatan; apalagi untuk dosa-dosa besar.
Kita
mesti mengetahui penggunaan istilah-istilah ini sehingga kita tidak mencampur
adukkan antara berbagai istilah tersebut, sehingga kita tidak menuduh sebagian
orang telah melakukan kemaksiatan berupa kekufuran yang paling besar (yakni ke
luar dari agama ini) padahal mereka sebenarnya masih muslim.
Orang
yang mudah mengkafirkan orang lain, adalah contoh orang yang sesat di jalan
aqidah karena malu bertanya kepada ulama yang ahli di bidangnya, sementara
Allah jelas menganjurkan manusia untuk bertanya kepada Ahlinya jika memang
manusia itu tidak mengetahui, dan agar tidak merusak sistem dan kehidupan ini.
Dalam
hal fiqh, terkadang juga banyak orang malu untuk bertanya tentang hukum-hukum
fiqhiyah, akibatnya banyak inovasi dalam melakukan ibadah dan tidak menyadari
bahwa hal itu merusak nilai-nilai ibadah bahkan membatalkan ibadah tersebut.
Pernah
terjadi di saat sujud seseorang bersujud, namun satu tangannya memegang mushaf
namun tidak melengkapi syarat sahnya sujud, padahal orang itu punya dua tangan.
Dalam hal ini mungkin orang tersebut belum tahu kalau sahnya sujud itu
menempelkan tujuh hal, yaitu dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua
telapak kaki walau sebagian. mungkin maksudnya menjaga mushaf yang ia baca atau
dipakai menyimak bacaan saat berdiri, namun tidak muat dalam saku, sehingga
dalam sujud pun masih ia genggam, namun mungkin ia belum tahu kalau sujudnya
tidak sah, maka sholatnya juga tidak sempurna keabsahannya.
Sebagaimana
pula diketahui bahwa syarat sahnya sholat adalah sucinya badan, pakaian dan
tempat sholat, maka kenapa kita membersihkan badan, mencuci baju dan menjaga
lantai yang kita tempati bersujud maupun lantai yang kita lewati dalam kondisi
suci, tidak lain adalah untuk menjaga sahnya ibadah kita.
Dalam
hal ini sepatu dan sandal membantu manusia menjaga kesucian badan agar tidak
terkena najis dan kotoran, dan hal demikian juga tidak boleh malu bertanya,
mana lantai yang suci dan mana lantai yang tidak suci, agar jelas dimana kita
pakai sepatu dan dimana kita melepasnya.
Penggunaan
alas kaki, sepatu dan sandal sesuai fungsi dan manfaat, akan menjadikan badan
suci, lantai suci dan hati suci, namun penggunaan sepatu dan sandal yang
kotor pada lantai yang suci akan
mengotori kesucian lantai, mengotori kesucian badan orang lain. Jika hal itu
terjadi maka keabsahan ibadah orang lain bisa rusak atau bahkan batal akibat
ketidaksucian hati orang yang menggunakan sepatu dan sandal di lantai yang
suci.
Semoga kita tidak malu bertanya,
agar tidak sesat di jalan akidah, dan tidak menyesatkan orang lain, juga
menjaga kesucian dan keabsahan ibadah kita dan juga ibadah orang lain, dengan
menempatkan sesuatu sesuai fungsi dan mafaatnya demi menyempurnakan
syarat-syarat keabsahan amal ibadah kita semua.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Katakan pendapatmu kawan