07 Agustus 2008

Teori Pemurnian Tauhid

Teori Pemurnian Tauhid
Oleh : Mochammad Moealliem

Abdau bismillahi war rohmani, wa bir rohimi daimil ihsani, Aku mulai dengan menyebut nama Allah, Dzat yang penyayang, dan Dzat yang pengasih yang senantiasa baik dalam segala hal. Demikianlah pembukaan dalam pelajaran tauhid diawal saya belajar ketika masih SD, tiba-tiba saja saya ingin menulis beberapa hal yang menurut saya perlu diluruskan, baik dalam tauhid dan sebagainya, dari berbagai madzhab teologi yang saya tahu, wahabi, syiah dan mungkin juga dari beberapa ajaran sufisme yang mengalami penyelewengan. Saya yakin setiap madzhab punya kebenaran, namun juga punya kesalahan.

Tauhid adalah penyatuan, kata tauhid adalah masdar dari fiil madli wahada, dan isim failnya adalah waahid, waahid artinya sang penyatu, dan penyatu itu sekaligus wahid atau yang satu, satu yang tidak menjadi dua, tiga dan seterusnya, satu yang tunggal, satu yang esa, satu yang tidak berkelamin, satu yang dhohir, satu yang bathin, satu yang ada, satu yang wujud.

Memurnikan tauhid, anda pernah mendengar tentunya kata yang janggal ini, bagaimana bisa tauhid itu dimurnikan? Jika dimurnikan akan jadi tanpa tauhid. Yang perlu dimurnikan adalah jiwa dan hati, sebab jika jiwa dan hati telah murni maka tauhid itu akan bersemayam dengan sendirinya, tak akan ada yang mampu menyatukan semua orang kecuali Sang Satu, Dia menjadikan kita yang asalnya satu menjadi beraneka ragam untuk saling berkenalan, menjadikan Musa harus kenalan dengan hamba yang lain, sebagai bukti bahwa kebenaran yang dimiliki manusia tak akan pernah sempurna, diatas yang benar masih ada yang benar, dan yang benar secara hakiki adalah Sang Satu.

Setiap agama akan memiliki madzhab yang bermacam-macam, hal demikian bisa kita lihat dalam berbagai agama didunia, tanpa terkecuali agama penulis. Setiap umat akan bersatu ketika dibawah pimpinan yang satu, sebagaimana umat-umat nabi terdahulu, mungkin hanya umat nabi Musa yang mengalami perpecahan dimasa pimpinannya masih hidup, sebab dipimpin dua nabi Musa dan Harun..

Perpecahan umat nabi Isa, terjadi setelah (diangkatnya), perpecahan umat nabi muhammad pun setelah wafatnya, mungkin kita menganggap bukan perpecahan, namun perbedaan, akan tetapi perbedaan itu semakin hari semakin terasa masing-masing merasa sebagai yang satu. Maka semua akan merasa kami lah yang satu, kami lah yang satu, kami lah yang benar, yang lain adalah salah.

Meskipun hal demikian telah ditentukan dan tak akan bisa dihindari, namun sebenaranya kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah kita sendiri agar tak larut dan meneruskannya, meskipun hal demikian tidak menjamin akan terjadi, sebab nabi sendiri hanya diberitahu yang akan terjadi, namun beliau tak berhak dan tak akan mampu mencegah apa yang akan terjadi pada umatnya, kecuali mendapat taufiq, atau kesamaan antara usaha kita dengan kehendak Sang Satu.

Kita tak akan bisa menjadikan orang mendapat hidayah, kita tak akan mampu meng islamkan orang dan sebaliknya. Kita hanya mampu menjadi sebabnya saja, maka jika ada orang yang merasa bisa menjadikan orang dapat hidayah, dapat mengislamkan orang, dia termasuk orang yang tertipu, nabi saja tak mampu meng islamkan abu tholib, dan Sang Satu pun telah memberitahu, laisa alaika hudahum, walakin Allah yahdi man yasa'.

Kita sering berdoa agar kita menjadi sebab bagi orang-orang yang akan dapat hidayah, allahumma ij'alna sababan limanihtada. Namun kita sering mendengar seseorang memamerkan kehebatan dengan cara yang keliru seperti itu. Entah apa tujuannya, mereka berani menghitung orang yang masuk islam, sebagai hasil dari kerjanya, apalagi jika yang mendapat hidayah orang terkenal, secara tidak sadar terkadang menjadikan mereka sombong, padahal seyogyanya hal demikian untuk menguji mereka, sejauh mana rasa syukurnya pada Sang Satu, bukan malah lupa pada Sang Satu, sementara orang lain mendapat hidayah.

Jangan anda pikir menjadi ulama tidak diuji, nabi tersayang pun tetap diuji, raja baik pun duji, raja jahat pun diuji dan semua yang terkena hukum taklif akan diuji, Allah itu adil dan tidak berpihak, hal demikian pun sebagai ujian agar kita berusaha keras, tidak manja, tidak bergantung buta, sebab ibadah kita bukanlah untuk menambah ketuhananNya, akan tetapi untuk kita sendiri, taat dan tidak taatnya seluruh makhluk tidak menambah atau mengurangi kekuasaanNya sedikit pun. Allah itu disucikan dari sifat butuh, butuh pada sesuatu adalah lemah.

Apakah kita akan memaksa orang masuk surga? (dengan memaksa mengikuti madzhab kita), atau apakah kita akan memaksa orang masuk neraka?(dengan mengkafir-kafirkan semau kita), Tugas kita adalah mengajak, bukan memaksa. Kita paksa seperti apapun kalau tak termasuk daftar penghuninya tak akan berguna.

Dakwah berarti mangajak, dakwah yang benar adalah dakwah ila Allah, mengajak untuk kembali kearah Sang Satu. Satu itu bukanlah wahabi, bukanlah syiah, bukan murjiah, bukan mu'tazilah, bukan pula ahlisunnah, satu itu ibarat samudra tempat bermuaranya seluruh sungai yang ada.

Bukankah nabi Ibrahim termasuk orang yang bertauhid? Apakah dia wahabi, apakah dia syiah, apakah dia ahlisunnah, apakah dia nasrani, apakah dia yahudi? Jawabannya adalah tidak semuanya, dia adalah Islam (Pasrah pada yang Satu). Jika begitu kenapa masih ada diantara kita yang merasa paling benar dari yang lain?

Kita dari sumber yang sama, sumber yang satu, namun kita dibuat berbeda, agar punya semangat dan selera dalam menuju samudra, tidak ada sungai yang tidak berliku, lomba tanpa pesaing tak akan meriah, maka janganlah kita bertengkar sementara perjalanan kita makin tertunda, mari bersaing siapa yang lebih dekat jaraknya dengan samudra.

Kamu boleh mengkritik teori yang aku pakai, namun kamu juga harus terbuka dengan kritik atas teori yang kamu pakai, bukankah orang lain lebih tahu kekurangan kita. Namun kita tak boleh anarkis jika teori kita terbuka kekurangannya, bukan asal mencaci maki karena ingin dianggap suci, apalagi tak punya jawaban langsung mencaci-maki, nabi Muhammad saja kalau tak punya jawaban akan diam, menunggu jawaban dari Sang Satu.

Dalam hal ini saya ingin menulis beberapa hal yang menurut saya keliru, sebagai kewajiban saya menyampaikan, agar saya tidak menanggung dosa atas seseuatu yang saya tahu, bukankah ketika melihat kemungkaran kita harus merubahnya, namun bukan menghancurkannya, karena kemungkaran itu bukan benda, jadi tak mungkin dirubah dengan tangan, namun kemungkaran itu adalah ucapan/fatwa, tentunya mengubahnya pun dengan ucapan/tulisan, anda setuju atau tidak, bukanlah tanggunganku.

Untuk orang wahabi, suatu ketika saya membaca fatwa dari ulama wahabi, syeikh utsamin, dalam buku seingat saya judulnya "fatawa arkanul islam", disana saya membaca beberapa fatwa, namun ada yang menjadi ganjalan dihatiku, dan sampai saat ini saya tak pernah bertemu dengan syeikh utsaimin itu, maka saya titip kepada kawan-kawan wahabi dimana saja untuk menyampaikan ini, barangkali akan menjadikan kebaikan. Atau mungkin aku tak bisa memahami maksudnya silahkan kepada orang wahabi untuk menjawabnya.

Orang wahabi, ketika mengartikan yadullohi fauqo aidihim, mengatakan bahwa itu adalah tangan alias maknanya hakiki bukan majaz, begitu pula fatwa syeikh utsaimin itu. Kemudian jika mengartikan wajhullah, adalah wajah secara hakiki, begitupula yang saya baca dalam buku itu, mereka mengatakan semua adalah hakiki dengan catatan "bila kaifa". Yang menjadikan saya menganggap keliru ketika ada ayat, kullu syaiin ha likun illa wajhah. (segala sesuatu akan rusak kecuali wajahNya) Jika itu tangan hakiki, dan wajah hakiki. Maka ayat ini menurut teori wahabi akan bermakna, bahwa tangan Allah akan rusak, padahal Allah tak akan rusak. Silahkan dijawab?

Untuk orang Sufi, janganlah mengunggulkan terlalu tinggi pada mursyid anda, jika anda terlalu mengunggulkannya, bukankah anda termasuk yang tertipu. Ingatlah dalam sufi lebih banyak rintangan dan jebakan, janganlah karena menempuh hakikat meninggalkan syariat, hal demikian juga penipuan. Ingatlah Syariat tanpa hakikat adalah bangkai, dan hakikat tanpa syariat adalah hantu. Bersufilah namun fiqh harus dipakai, pun juga berfiqihlah namun jangan lupa bertasawuf atau tazkiyatun nafs.

Untuk yang suka ziarah qubur, ziarahlah tapi jangan seperti mereka yang meminta pada orang mati, jika tak mampu menemui janganlah minta bantuan padanya, cukuplah berikan hadiah doa yang kamu baca, sebab jika kamu menangis, merengek diatas kuburnya, kamu seperti orang gila yang minta pada yang tak mampu berbuat apa-apa. Ziarahlah sebagai bahan untuk ingat bahwa kamu akan menyusulnya, ziarahlah sebagai penghormatan, ziarahlah sebagai rasa kasih sayang, diterima atau tidak hadiah doa yang kamu baca, adalah hak Allah, setidaknya kamu telah membaca kalam-Nya.

Untuk pedagang dipasar, tepatkan timbanganmu, entah kenapa aku tak mampu mengingatkan para pedagang yang mengurangi timbangan didekat penulis belajar. Untuk tahu, cobalah anda lihat timbel timbangan akan tetap ada diatas timbangan itu, meskipun kosong, penulis pernah tak sengaja mengangkat timbel untuk diganti yang lain, namun ternyata belum diganti timbangan tidak stabil, dan ternyata itu dilakukan mayoritas, pedagang buah, dan sejenisnya, ketika penulis tanya orang itu bilang "kena angin" aku tersenyum, malah kawanku yang memarahinya, namun tak bisa merubahnya. Ini juga aku titipkan buat kawan semua.

Itulah mungkin yang harus saya sampaikan, meski saya tetap kecewa kapada mereka yang membuat kita menjadi berlawanan dari yang asalnya hanya berlainan pendapat. Semuanya itu terjadi akibat perebutan kekuasaan setelah Nabi Muhammad, hingga saat ini, setiap golongan akan terus menyimpan luka sejarah, dan terus berlomba meraih pendukung sebanyak-banyaknya, serta wilayah yang seluas-luasnya, agar bisa meraih apa yang disebut kebenaran yang tunggal.

Demikianlah ketika agama dijadikan alat politik, maka terjadi adalah pembenaran-pembenaran yang berpihak, doktrin-doktrin paling benar sendiri, saling menghalalkan darah lawan politik dengan kedok agama, terus menyimpan rasa dendam karena hatinya bukan untuk Allah tapi masih keruh dengan madzhab atau partai yang mereka suka.

Bukankah contohnya masih bisa dilihat dengan jelas di Timur Tengah? Dan juga mungkin dalam diri kita sendiri, apakah kita akan bahagia jika semua umat islam bermadzhab syiah? Apakah akan bahagia jika semua bermadzhab wahabi? Ataukah kita satukan saja menjadi ahli sunnah, namun toh begitu, kita tetap akan berebut siapa yang ahlisunnah, kalau begitu marilah kita murnikan hati kita, jika kita telah mampu memurnikan hati kita, kita berasal dari madzhab manapun tak akan butuh embel-embel apapun kecuali bahwa kita adalah islam yang Islam, (umat muhammad yang mencapai kepasrahan kepada Allah), atau mungkin akan merasa tak ada apa-apa kecuali Allah dalam hatinya.

Bukankah itu tauhid yang murni, dihati hanya ada Sang Satu, yang lain hanya di mata, ditelinga, dimulut, namun yang jelas hati tak boleh ada yang lain, harta cukup ditangan tak perlu masuk dihati, tahta cukup dipundak, wanita cukup dimata, bukankah iman itu bersemayam dihati, haruskah kita membiarkan harta, tahta dan wanita menjadi hal yang sejajar dengan Allah? Bukankah itu yang disebut syirik, apalagi masih ditambah partai, ditambah madzhab yang kita sejajarkan dengan Allah, kita taati, kita hormati, kita puja, bukankah hal demikian adalah keliru?

Mungkin itulah hakikat tauhid, dan memang hati kita perlu dimurnikan, maka jika ingin memurnikan tauhid, mulailah menurunkan kedudukan selain Allah dalam hati kita, dan kalau bisa menaruh diluar, kalau belum bisa yach kta kurangi waktu keberadaan didalamnya. Dengan tetap mencari harta, mencari tahta, mencari wanita sesuai aturan yang berlaku, tetap berpartai misalnya, atau tetap bermadzhab dan lain sebagainya.

Ketika mulut kita diam, bukankah hati kita masih bisa berkata? Sementara ini kita hanya berdzikir dengan mulut kita yang bisa berbusa, maka maukah anda saya ajak untuk menyebut Allah dengan mulut yang tak akan berbusa? Jika mau, cobalah lakukan, diamkan mulut kita, dan ajari mulut hati kita berucap "ALLAH, ALLAH, ALLAH....." nabi Muhammad hatinya selalu berdzikir seperti itu, nabi Isa seperti itu, maka jangan salah faham jika nabi Isa berkata,"aku didalamNya, dan Dia didalam diriku".

Daripada mulut kita tersenyum tapi hati kita mencacimaki, bukankah lebih baik mulut kita tersenyum dan hati kita bertakwa, untuk yang ingin tauhid murni, cobalah sekarang juga, atau setidaknya anda lakukanlah sekali ini.

"Ala bidzikrillahi tatmainnul qulub" ingatlah bahwa dengan dzikir hati akan tenang.

Alliem
Kairo, Kamis 07 Agustus 2008
Hatiku pun masih keruh


1 komentar:

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer