Menyongsong Masa Depan
Oleh : Mochammad Moealliem
Hari ini adalah hari dimana suhu udara mulai mendekat kearah kebekuan, meski hal demikian tak separah dibagian kutub yang selalu banjir tiap tahunnya dengan banjir yang tidak deras seperti di Indonesia, namun banjirnya beku, dan menyelimuti lingkungan kehidupan manusia dengan salju. Indah mungkin kalau kita hanya melihat salju telah membatu dan bisa dipakai berselancar, namun saat salju turun, ternyata lebih tidak enak dari bayangan manusia yang tidak pernah merasakan salju menghujani daerahnya.
Sebagaimana adat musim dingin bahwa selimut adalah kawan paling setia, apalagi saat musim dingin mencapai klimaksnya, tentunya membuat kita malas untuk menyongsong masa depan, tak heran jika kita menjadi lupa bahwa disini tidaklah selamanya, sementara yang kita perbuat selama ini tak begitu punya makna yang berarti.
Masa lalu telah kita lewati, bahkan tahun lalu telah lewat beberapa minggu yang lalu, tahun yang penuh bencana untuk negeri kita tercinta, tanah longsor, banjir, dan berbagai sahabatnya yang telah kita kenal lama keberadaan mereka didekat kita, namun ternyata kita tetap saja menjadi korban atas pesta-pora para bencana menjelang tahun yang baru datangnya.
Memang bukan hanya di Indonesia hal demikan terjadi, namun setidaknya hal demikian di Indonesia bukanlah hal yang aneh dan asing, sebab hampir setiap tahun hal demikian wujud adanya sebagai penghias kota, bahkan merambah diibukota negara. Asyik memang kata pepatah yang bilang "laut yang tenang tak akan membuat pelaut yang handal", kalau dalam istilah penulis menjadi, "ketenangan laut bukanlah tepat untuk mengukur kehebatan pelautnya, tenggelam pun lebih baik, daripada terapung tanpa makna".
Indonesia bagaikan samudra dengan ombak yang begitu derasnya, namun sayangnya kita tak siap menjadi pelaut yang handal, ombak politik, ombak ekonomi, ombak aliran pemikiran, kepercayaan, maupun aliran dana, mulai paling kanan, sampai paling kiri, bahkan ombak-ombak bencana. Pepatah telah kita hapal hingga keluar kepala untuk sedia payung sebelum hujan, namun ternyata kita baru teringat payung setelah hujan reda, sementara pepatah harus dikembangkan menjadi sedia perahu sebelum banjir, dan kita baru ingat perahu setelah banjir mengibarkan bandangnya.
Di Mesir, penulis hanya mampu mendengar dan melihat berita-berita yang kini mulai mudah dijangkau oleh semua penduduk bumi, berita radio, televisi, bahkan koran, bisa penulis nikmati sebagaimana kita berada di Indonesia, tentunya agak sedikit pakai biaya. Namun demikian adanya mungkin hal demikian membuat sebagian orang enggan kembali, dengan berbagai alasan yang bisa dicari.
Mungkin Indonesia terlalu luas wilayahnya, panjangnya saja seperti panjang benua eropa, jumlah penduduknya lebih banyak dibanding jumlah orang arab semuanya, bahkan bisa jadi lebih banyak dibanding jumlah penduduk benua eropa. Hingga terkadang terlihat seolah negeri itu adalah negeri yang penuh bencana, dengan evakuasi yang lamban, bahkan korban-korban seolah dibiarkan terkapar hingga akhirnya mati satu demi satu tertimbun lumpur yang ada, sementara para pejabat masih ribut membahas jumlah uang yang harus dianggarkan untuk para korban yang mungkin tak bisa sampai pada korban secara utuh, atau bahkan korban yang dijatah anggaran sudah keburu mati.
Masyarakat kita hanya belajar dan diajari untuk neriman dengan musibah, tanpa belajar dan mengambil pelajaran dari bencana yang ada dan bagaimana menyongsong masa depan mereka agar terhindar dari bencana, ah betapa besar ombak laut Indonesia yang akan menjadi guru pencetak pelaut yang hebat jika mampu bertahan hingga masanya, atau bahkan akan memusnahkan para pelautnya jika tak mampu menaklukannya..
"Peganglah yang kuat kawan!! Ombak samudra begitu besar, bila kau lepas kau akan terbawa arus tanpa tujuan, bertahanlah sejenak kawan!! Tidaklah selamanya kita dalam lautan ini, lihatlah kedepan kawan!! Disanalah bahtera kita akan mendapat kebahagiaan."
Masa depan harus kita songsong dengan benar, jika tidak, kita hanya akan kembali menjadi korban dimasa selanjutnya. Untuk itu penulis punya analisa bahwa masa depan yang kita songsong hanyalah dua hal ; Pertama, adalah masa depan hidup kita dimasa mendatang, dan yang kedua adalah masa depan kematian kita diwaktu yang akan datang.
Kita telah diajari untuk menyongsong dua hal tersebut secara cermat dan tepat, sebagaimana kita tahu falsafah yang berbunyi, beribadahlah untuk akhiratmu, seakan engkau nanti akan tiada, dan bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. QS: 28:77
Zaman kita sangat berbeda dengan zaman dulu, zuhud bukanlah tidak memiliki harta benda, akan tetapi yang dikatakan zuhud adalah memiliki harta benda namun tidak merasa itu miliknya, akan tetapi semua itu milikNya, dan dia hanya bertugas menyalurkannya secara benar dan sesuai dengan hak-haknya, diantara hak dalam harta itu adalah zakat, dan zakat bukan hanya zakat fitrah tapi ada zakat mal, penerima zakat ada 8 golongan.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .QS.9:60
Maka marilah bercita-cita menjadi pembayar zakat terbesar selama hidup kita disini, menjadi orang kaya yang dermawan itu lebih baik darpada menjadi orang miskin yang tidak sabar. Sebab kalau orang miskin tidak sabar, bisa-bisa akan mencuri bahkan menjual keimanannya, sebagaimana kata nabi "hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan orang kufur" kậda lfaqru an yakuna kufron.
Alliem
Cairo, Senin 14 Januar 2008
Allahumma Bậrik Lanậ Fimậ A'toitanậ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Katakan pendapatmu kawan