Isbal dan Fenomena Yang Janggal
Oleh Mochammad Moealliem
Bercelana "cingkrang" entah apa bahasa Indonesia yang tepat untuk mengatakan celana yang tidak ma'ruf dalam lingkungan kita, celana yang ma'ruf dipakai adalah celana yang setara dengan matakaki, atau celana resmi manusia berperdaban. Penulis tidak akan melarang anda memakai celana yang anda sukai, penulis hanya akan mengupas tentang isbal (ngelembreh) atau berlebihan hingga jika berjalan akan menyeret tanah.
Dalam banyak hadith yang penulis temukan, hal demikian terjadi dalam pakaian jubah dan izar (sarung), dan penulis tidak menemukan hadith tentang celana harus tinggi seperti kebanjiran, yang mungkin saat ini sering kita lihat dilakukan oleh sebagian orang. Penulis pada awalnya penasaran dengan dasar hukum yang dipakai oleh mereka, adakah mereka melakukan hal demikian sesuai dasar agama, ataukah taqlid buta pada orang lain, atau bahkan mereka melakukan bid'ah hasanah.
Untuk melihat fenomena serta menerobos realita dari hadith tentang isbal, penulis cukup bahagia bisa belajar di Mesir, sebab ternyata orang mesir masih memakai jubah, bahkan mungkin lebih lebar modelnya daripada jubah negara arab yang lain. Apalagi jubah itu menjadi pakaian satu-satunya, alias kondisi ekonomi yang tidak mendukung menjadikan jubah mereka adalah pakaian satu-satunya, dan ini sesuai pada zaman nabi, dimana para sahabat rata-rata miskin, dan pakaian mereka cuma jubah yang satu-satunya, maka tak heran ketika jubah itu mengalami pengelembrehan akan menyebabkan najis menempel.
Suatu jum'at, saya menemukan dua isbal yang berbeda, isbal yang pertama adalah isbal karena sombong, dan isbal yang kedua adalah isbal karena najis.
543 - حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي مُسْبِلًا إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
HR.Abu Dawud 543.
Hadith diatas ini, adalah tentang larangan isbal karena najis, ini bisa kita pahami bahwa nabi berulangkali memerintahkan dia berwudlu, padahal dia sudah sholat (dalam artian dia sudah punya wudlu) maka yang menjadi point penting didalam hadth tersebut bukanlah cara berpakaiannya, akan tetapi pakaian itu tidak sah untuk dipakai sholat karena ada najisnya, kalau anda mau jeli, bahwa nabi tak pernah menyuruh orang tersebut memotong jubahnya atau sarungnya.
Kalau kita pernah belajar dipesantren biasanya kita pernah bersarung yang agak isbal, ada dua juga modelnya, yang pertama biasanya sarungnya bermerek, yang kedua biasanya memang masih anak-anak kalau pakai sarung "klombrot", dua macam orang yang berpakaian seperti itu biasanya kurang cekatan kalau diajak ro'an (kerja bakti), sebab kalau sarungnya bermerek dia akan begitu takut kalau debu menempel disarungnya, sedangkan jika yang bersarung "klombrot" biasanya nggak bisa jalan cepat sebab kalau jalan cepat dia akan "kesrimpet" (terjerat) oleh sarungnya.
Kalau kita melihat santri pesantren salaf (model kuno) biasanya kalau bersarung agak tinggi, yach setengah betis lah, sebab biasanya sering hujan, becek, dan tentunya porsi untuk terpercik najis agak tinggi, maka sesuai hadith diatas dia agak tinggi, begitu pula jubah bagi orang arab yang masih kotor lingkungannya, alias masih banyak tahi khimar disitu, harus hati-hati jika hujan tiba atau air menggenang, sebab dalam aturan fiqh seingat saya seperti itu.
Namun entah kenapa, penulis merasa janggal jika ada orang yang bercelana setengah betis, padahal penulis tidak janggal jika ada orang bersarung setengah betis ataupun jubah setengah betis, apalagi hadith memang mendukung dua pakaian itu sarat menyeret najis, tapi kalau celana menurut penulis lebih ma'ruf kalau standar saja, alias sebatas matakaki, bukankah yang ma'ruf (diketahui umum) itu diperintahkan alias amar ma'ruf (memerintahkan yang standar).
Untuk fenomena tentang isbal untuk kesombongan, penulis menemukan disaat ziarah ke makam sayidah zainab, disana dua orang yang menjadi catatan penulis, pertama orangnya cakep, jubahnya bagus, masih dibalut dengan jubah tambahan, namun tambahan jubahnya menyeret tanah lumayan panjang. Dan satu orang lagi, orangnya tua, jubahnya agak robek (compang-camping), agak kumuh, isbal juga jubahnya karena ada yang robek, kedua orang itu punya hubungan sementara penulis berada dalam jarak keduanya.
Orang yang cakep tadi membagi-bagi duit bagi orang-orang yang minta, sementara orang yang kedua adalah orang yang berhak menerima, dan penulis diantara keduanya, jadinya penulis dilangkahi oleh pak tua dengan jubahnya yang kumal dan isbal, dan membuat penulis terbesit dalam hati seraya berkata "mungkin inilah isbal yang dimaksud dalam hadith tersebut".
1423 - و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
HR.Muatho 1423.
Itu adalah kisah isbal pada kaum laki-laki, untuk isbal perempuan mungkin contohnya terlalu mudah kita jumpai, yang jelas motif dari isbalnya ada dua, yang pertama sholatnya tidak diterima kerena najis dhohir (badan, pakaian & tempat), dan yang kedua sholatnya tidak diterima karena najis bathin ( sombong, riya' dsb).
Dalam kitab
مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى:
{ أَنَّ النَّبِيَّ ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَأَى بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَمْشِي بَيْنَ الصَّفَّيْنِ يَخْتَالُ فِي مِشْيَتِهِ قَالَ : إنَّهَا لَمِشْيَةٌ يَبْغَضُهَا اللَّهُ إلَّا فِي هَذَا الْمَوْطِنِ } وَذَلِكَ ؛ لِأَنَّ الْخُيَلَاءَ مَذْمُومٌ فِي غَيْرِ الْحَرْبِ لِحَدِيثِ { مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إلَيْهِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
( فَإِنْ أَسْبَلَ ) ثَوْبَهُ ( لِحَاجَةٍ : كَسِتْرِ ) سَاقٍ ( قَبِيحٍ ، وَلَا خُيَلَاءَ وَلَا تَدْلِيسَ ) عَلَى النِّسَاءِ : ( أُبِيحَ ) . قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ، وَكَذَلِكَ إذَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ ، فَإِنْ أَرَادَهُ ، ( كَ ) امْرَأَةٍ ( قَصِيرَةٍ ) لَمْ يَرْغَبْ فِيهَا ، فَ ( اتَّخَذَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ ) ، فَلَمْ تُعْرَفْ : حَرُمَ عَلَيْهَا ذَلِكَ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ الْغِشِّ ، وَفِي الْخَبَرِ { مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا }
Dalam kitab itu dijelaskan, bahwa menyombongkan pakaian itu dilarang kecuali dalam perang, dan juga isbal itu diperbolehkan jika diperlukan untuk menutupi kekuranga, misalnya matakaki anda kena borok, celana diturunin hingga kebawah tidak apa-apa, begitu pula larangan isbal juga bagi perempuan.
Nah sekarang, kalau anda telah mampu menjaga pakaian anda dari najis, masih ada satu najis lagi yang perlu anda bersihkan, yaitu hati yang terkena najis, maka benarlah firman Allah, bahwa sesungguhnya sholat mencegah kekejian dan kemungkaran.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar . Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.QS.29:45
Hanya saja banyak dari sholat kita tidak diterima, karena masih membawa najis, najis dlohir bisa dibersihkan dengan mensucikan tubuh, pakaian, dan tempat untuk sholat jasad kita, sementara najis bathin bisa dibersihkan dangan mensucikan jiwa, otak dan hati tempat sholat jiwa kita.
Kalau dalam ayat diatas disebutkan bahwa mengingat Allah adalah lebih besar, sebab jika kita selalu ingat Allah, kita tak akan korupsi, tak akan mencuri, tak akan melakukan kejahatan, dan kemungkaran, namun memang kebanyakan hanya ingat lima kali dalam sehari semalam, bahkan dalam masa sholat pun masih lupa, bahkan terkadang mengingatnya masih terpaksa, maka janganlah berharap kemungkaran dan kekejian akan berkurang jika sholat saja masih tak mengingat-Nya.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, orang-orang yang lalai dari shalatnya, QS,107:4-5
Alliem
Cairo, Senin 14 Juli 2008
Berusaha Selalu Ingat Dalam Sholat
Referensi,
Sunan Abu Dawud, 542, 543, 3562, 3563, 3564, 3565.
Musnad Ahmad, 6131, 19717, 19718, 7310, 17114.
Muatho' Malik, 1423, 1424, 1425, 1426, 1427.
Shohih Muslim 154, 155
Sunan Nasai, 5237. 5238, 5239, 5240
Oleh Mochammad Moealliem
Bercelana "cingkrang" entah apa bahasa Indonesia yang tepat untuk mengatakan celana yang tidak ma'ruf dalam lingkungan kita, celana yang ma'ruf dipakai adalah celana yang setara dengan matakaki, atau celana resmi manusia berperdaban. Penulis tidak akan melarang anda memakai celana yang anda sukai, penulis hanya akan mengupas tentang isbal (ngelembreh) atau berlebihan hingga jika berjalan akan menyeret tanah.
Dalam banyak hadith yang penulis temukan, hal demikian terjadi dalam pakaian jubah dan izar (sarung), dan penulis tidak menemukan hadith tentang celana harus tinggi seperti kebanjiran, yang mungkin saat ini sering kita lihat dilakukan oleh sebagian orang. Penulis pada awalnya penasaran dengan dasar hukum yang dipakai oleh mereka, adakah mereka melakukan hal demikian sesuai dasar agama, ataukah taqlid buta pada orang lain, atau bahkan mereka melakukan bid'ah hasanah.
Untuk melihat fenomena serta menerobos realita dari hadith tentang isbal, penulis cukup bahagia bisa belajar di Mesir, sebab ternyata orang mesir masih memakai jubah, bahkan mungkin lebih lebar modelnya daripada jubah negara arab yang lain. Apalagi jubah itu menjadi pakaian satu-satunya, alias kondisi ekonomi yang tidak mendukung menjadikan jubah mereka adalah pakaian satu-satunya, dan ini sesuai pada zaman nabi, dimana para sahabat rata-rata miskin, dan pakaian mereka cuma jubah yang satu-satunya, maka tak heran ketika jubah itu mengalami pengelembrehan akan menyebabkan najis menempel.
Suatu jum'at, saya menemukan dua isbal yang berbeda, isbal yang pertama adalah isbal karena sombong, dan isbal yang kedua adalah isbal karena najis.
543 - حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي مُسْبِلًا إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
HR.Abu Dawud 543.
Hadith diatas ini, adalah tentang larangan isbal karena najis, ini bisa kita pahami bahwa nabi berulangkali memerintahkan dia berwudlu, padahal dia sudah sholat (dalam artian dia sudah punya wudlu) maka yang menjadi point penting didalam hadth tersebut bukanlah cara berpakaiannya, akan tetapi pakaian itu tidak sah untuk dipakai sholat karena ada najisnya, kalau anda mau jeli, bahwa nabi tak pernah menyuruh orang tersebut memotong jubahnya atau sarungnya.
Kalau kita pernah belajar dipesantren biasanya kita pernah bersarung yang agak isbal, ada dua juga modelnya, yang pertama biasanya sarungnya bermerek, yang kedua biasanya memang masih anak-anak kalau pakai sarung "klombrot", dua macam orang yang berpakaian seperti itu biasanya kurang cekatan kalau diajak ro'an (kerja bakti), sebab kalau sarungnya bermerek dia akan begitu takut kalau debu menempel disarungnya, sedangkan jika yang bersarung "klombrot" biasanya nggak bisa jalan cepat sebab kalau jalan cepat dia akan "kesrimpet" (terjerat) oleh sarungnya.
Kalau kita melihat santri pesantren salaf (model kuno) biasanya kalau bersarung agak tinggi, yach setengah betis lah, sebab biasanya sering hujan, becek, dan tentunya porsi untuk terpercik najis agak tinggi, maka sesuai hadith diatas dia agak tinggi, begitu pula jubah bagi orang arab yang masih kotor lingkungannya, alias masih banyak tahi khimar disitu, harus hati-hati jika hujan tiba atau air menggenang, sebab dalam aturan fiqh seingat saya seperti itu.
Namun entah kenapa, penulis merasa janggal jika ada orang yang bercelana setengah betis, padahal penulis tidak janggal jika ada orang bersarung setengah betis ataupun jubah setengah betis, apalagi hadith memang mendukung dua pakaian itu sarat menyeret najis, tapi kalau celana menurut penulis lebih ma'ruf kalau standar saja, alias sebatas matakaki, bukankah yang ma'ruf (diketahui umum) itu diperintahkan alias amar ma'ruf (memerintahkan yang standar).
Untuk fenomena tentang isbal untuk kesombongan, penulis menemukan disaat ziarah ke makam sayidah zainab, disana dua orang yang menjadi catatan penulis, pertama orangnya cakep, jubahnya bagus, masih dibalut dengan jubah tambahan, namun tambahan jubahnya menyeret tanah lumayan panjang. Dan satu orang lagi, orangnya tua, jubahnya agak robek (compang-camping), agak kumuh, isbal juga jubahnya karena ada yang robek, kedua orang itu punya hubungan sementara penulis berada dalam jarak keduanya.
Orang yang cakep tadi membagi-bagi duit bagi orang-orang yang minta, sementara orang yang kedua adalah orang yang berhak menerima, dan penulis diantara keduanya, jadinya penulis dilangkahi oleh pak tua dengan jubahnya yang kumal dan isbal, dan membuat penulis terbesit dalam hati seraya berkata "mungkin inilah isbal yang dimaksud dalam hadith tersebut".
1423 - و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
HR.Muatho 1423.
Itu adalah kisah isbal pada kaum laki-laki, untuk isbal perempuan mungkin contohnya terlalu mudah kita jumpai, yang jelas motif dari isbalnya ada dua, yang pertama sholatnya tidak diterima kerena najis dhohir (badan, pakaian & tempat), dan yang kedua sholatnya tidak diterima karena najis bathin ( sombong, riya' dsb).
Dalam kitab
مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى:
{ أَنَّ النَّبِيَّ ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ رَأَى بَعْضَ أَصْحَابِهِ يَمْشِي بَيْنَ الصَّفَّيْنِ يَخْتَالُ فِي مِشْيَتِهِ قَالَ : إنَّهَا لَمِشْيَةٌ يَبْغَضُهَا اللَّهُ إلَّا فِي هَذَا الْمَوْطِنِ } وَذَلِكَ ؛ لِأَنَّ الْخُيَلَاءَ مَذْمُومٌ فِي غَيْرِ الْحَرْبِ لِحَدِيثِ { مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إلَيْهِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
( فَإِنْ أَسْبَلَ ) ثَوْبَهُ ( لِحَاجَةٍ : كَسِتْرِ ) سَاقٍ ( قَبِيحٍ ، وَلَا خُيَلَاءَ وَلَا تَدْلِيسَ ) عَلَى النِّسَاءِ : ( أُبِيحَ ) . قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ، وَكَذَلِكَ إذَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ ، فَإِنْ أَرَادَهُ ، ( كَ ) امْرَأَةٍ ( قَصِيرَةٍ ) لَمْ يَرْغَبْ فِيهَا ، فَ ( اتَّخَذَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ ) ، فَلَمْ تُعْرَفْ : حَرُمَ عَلَيْهَا ذَلِكَ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ الْغِشِّ ، وَفِي الْخَبَرِ { مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا }
Dalam kitab itu dijelaskan, bahwa menyombongkan pakaian itu dilarang kecuali dalam perang, dan juga isbal itu diperbolehkan jika diperlukan untuk menutupi kekuranga, misalnya matakaki anda kena borok, celana diturunin hingga kebawah tidak apa-apa, begitu pula larangan isbal juga bagi perempuan.
Nah sekarang, kalau anda telah mampu menjaga pakaian anda dari najis, masih ada satu najis lagi yang perlu anda bersihkan, yaitu hati yang terkena najis, maka benarlah firman Allah, bahwa sesungguhnya sholat mencegah kekejian dan kemungkaran.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar . Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.QS.29:45
Hanya saja banyak dari sholat kita tidak diterima, karena masih membawa najis, najis dlohir bisa dibersihkan dengan mensucikan tubuh, pakaian, dan tempat untuk sholat jasad kita, sementara najis bathin bisa dibersihkan dangan mensucikan jiwa, otak dan hati tempat sholat jiwa kita.
Kalau dalam ayat diatas disebutkan bahwa mengingat Allah adalah lebih besar, sebab jika kita selalu ingat Allah, kita tak akan korupsi, tak akan mencuri, tak akan melakukan kejahatan, dan kemungkaran, namun memang kebanyakan hanya ingat lima kali dalam sehari semalam, bahkan dalam masa sholat pun masih lupa, bahkan terkadang mengingatnya masih terpaksa, maka janganlah berharap kemungkaran dan kekejian akan berkurang jika sholat saja masih tak mengingat-Nya.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, orang-orang yang lalai dari shalatnya, QS,107:4-5
Alliem
Cairo, Senin 14 Juli 2008
Berusaha Selalu Ingat Dalam Sholat
Referensi,
Sunan Abu Dawud, 542, 543, 3562, 3563, 3564, 3565.
Musnad Ahmad, 6131, 19717, 19718, 7310, 17114.
Muatho' Malik, 1423, 1424, 1425, 1426, 1427.
Shohih Muslim 154, 155
Sunan Nasai, 5237. 5238, 5239, 5240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Katakan pendapatmu kawan