09 November 2007

Islam Dan Keadilan Sosial Dalam Pembagian Warisan[1]

Islam Dan Keadilan Sosial Dalam Pembagian Warisan[1]
Oleh : Mochammad Moealliem[2]

Prolog

Sering kita jumpai pertengkaran dalam lapisan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia dalam masalah pembagian harta warisan, masing-masing pihak yang bertengkar punya keinginan yang sama yaitu keadilan atau bahkan masing-masing pihak ingin mendapat bagian yang lebih banyak dari yang lain. Namun keadilan yang dipahami oleh masyarakat secara umum adalah kesamaan dalam pembagian, padahal keadilan yang adil adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya.

Jika kita sedikit menengok sejarah nenek moyang kita bangsa Indonesia pada sekitar abad 17 dan sebelumnya, tentu hati kita akan sedikit tersentuh dan bersyukur akan keberadaan kita yang jauh lebih baik dan lebih bisa menikmati hidup dibanding nenek moyang kita, tentunya kita mengenal budaya waktu itu bahwa seorang perempuan yang bersuami harus berakhir hidupnya bersamaan dengan meninggalnya sang suami dan terpaksa dibakar hidup-hidup bersama mayat sang suami, disini terlihat hak untuk hidup bagi seorang istri sangat dibatasi oleh umur suami, jika untuk hidup saja seorang istri begitu terikat apalagi hak untuk memiliki harta tentunya lebih terikat lagi, namun ada kemungkinan kepemilikan bagi perempuan elite.[3]

Hal itu pun bukan hanya terjadi di Nusantara bahkan terjadi di setiap peradaban-peradaban yang berkembang saat itu seperti halnya di Yunani, India, Cina, dan terjadi pula di Jazirah Arab, hal itu terjadi jauh sebelum Islam datang, bahkan budaya jahily waktu itu seorang perempuan termasuk harta warisan, dan bisa diwarisi oleh kerabatnya, hingga pada akhirnya Islam melarang praktek pewarisan perempuan dan memberi perempuan hak untuk mendapat dan memiliki harta, Islam juga melarang seseorang menikahi perempuan yang pernah dikawini ayahnya.

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan .”QS: (4)An Nisa’ : 22.

Definisi Waris

Al Irtsu Atau Warisan secara bahasa adalah : Berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau berpindahnya sesuatu dari suatu kaum kepada kaum yang lain, atau tetapnya keberadaan seseorang setelah meninggalnya seseorang yang lain dari segi pembagian harta yang ditinggalkan sang mayit.[4]

Dalam Alqur’an Allah berfirman : Dan Sulaiman telah mewarisi Daud , dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".[5]

Dalam hadith : Al ulama warotsatul Anbiya’, Ulama adalah pewaris para nabi

Warisan dalam istilah Fiqh adalah : berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

Sebelum kita mengupas lebih lanjut tentang problematika warisan dan penyelesaianya, akan lebih baik jika kita perlu tahu sejarah pindah-memindah atau waris-mewaris yang terjadi sebelum Islam mengaturnya.

Sejarah Waris Pra Islam

Pembagian warisan dimasa pra Islam hanyalah terjadi pada kaum laki-laki dan bahkan perempuan terhitung sebagai benda yang bisa diwariskan, hal ini terjadi bukan hanya di Jazirah arab akan tetapi sudah menjadi mayoritas peradaban mendudukan perempuan setara dengan harta warisan. Beberapa alasan mereka berbuat seperti itu adalah karena wanita tidak bisa berperang, tidak bisa membela keluarga dan kaumnya, bahkan wanita diposisikan pada pembawa sial dalam keluarga, hingga banyak dari mereka membunuh putri-putri mereka karena malu, hak hidup bagi perempuan masa jahily sangat mahal apalagi hak warisan tentunya lebih mahal dari hak hidup.

Bukan hanya perempuan yang tidak mendapat warisan pada masa pra Islam akan tetapi anak-anak kecil pun tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang tua ataupun kerabatnya, karena dianggapnya wanita dan anak kecil itu tidak bisa mengangkat senjata dan tak mampu membela keluarga dan kaumnya, dimana warisan hanyalah untuk mereka yang mampu mengangkat senjata, dan mampu melindungi keluarganya.

Islam datang dengan membawa hak-hak hidup bagi perempuan dan tak membedakan dengan laki-laki, juga memberikan hak kepemilikan bagi perempuan dari harta yang ditinggalkan ayah, suami dan kerabatnya, dan Islam memberi rincian pembagian harta peninggalan itu secara adil dan sesuai porsi pada masing-masing ahli waris.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'" [6]

Ayat-ayat Waris

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."[7]

Dari Ayat diatas bisa kita tarik kesimpulan bahwa :

1.Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
2. Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
3. Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
4. Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
5.Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
6.Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
7.Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
8.Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun."[8]

Bagian suami:

1.Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
2.Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.

Bagian istri:

1.Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
2.Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."[9]

Dari Ayat datas bisa kita tarik kesimpulan bahwa :

1. Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.

2. Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.

3. Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.

4. Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.

Problematika Waris dan Cara Penyelesaiannya

Mungkin hingga saat ini, yang masih ramai diperdebatkan adalah masalah bagian laki-laki dua kali lebih banyak dari pada perempuan, lalu bagaimana solusi yang tepat agar pembagian itu adil menurut kedua belah pihak yang menginginkan kesamaan ?

Budaya Arab hingga saat ini masih banyak yang mengikuti aturan satu banding dua, namun perempuan juga tidak di suruh bekerja, segala kebutuhannya ditanggung sang suami, juga kebutuhan anak-anaknya, mahar untuk perempuan yang akan dinikahi sangat mahal, maka wajar dan terhitung adil jika perempuan arab mendapat porsi warisan satu banding dua, juga budaya poligami marak di bangsa Arab bagi mereka yang mampu memberi keadilan financial pada istri-istrinya, toh sebagai perempuan yang di madu mereka juga tidak rugi dan tidak disuruh bekerja.

Hal demikian tentunya berbeda dengan budaya Asia atau Indonesia pada khususnya, dimana budaya asal mereka adalah budaya hindu dan budha, dimana budaya ini berkebalikan dengan budaya Islam, seperti kita tahu budaya di India bahwa seorang perempuanlah yang bekerja dan yang membayar mahar terhadap laki-laki yang akan menjadi suaminya, hal semacam itu bisa juga kita lihat di Bali atau masyarakat yang masih berbudayakan Hindu atau Budha.

Islam masuk Indonesia dengan tanpa membuang secara total budaya setempat, sebagaimana Nabi Muhammad membawa Islam ke Arab, seperti halnya budaya tawwaf di Ka’bah bahkan hal itu dijadikan moment yang harus dilakukan ketika haji dengan aturan yang berbeda dengan budaya jahily dulu, dimana mereka mengelilingi Ka’bah dengan pelepasan tutup kepalsuan (pakaian ) Islam datang merubahnya dengan memakai kain putih tanpa berjahit, nah jika kita lihat Indonesia yang punya budaya perempuan bekerja, tentunya kita tidak bisa melarang mereka akan tetapi memberikan batasan-batasan tertentu agar tidak bertentengan dengan Syariat Islam.

Pada dasarnya hasil kerja perempuan adalah hak milik pribadi perempuan itu sendiri, namun realita yang terjadi hasil kerja itu dipakai untuk membiayai rumah tangga yang seharusnya menjadi tanggung jawab laki-laki, nah dari sini rasanya tidak adil jika pembagian warisan kepada laki-laki lebih banyak dari perempuan, jika besar kecilnya bagian warisan dari jerih payah dan tanggung jawab yang dipikulnya untuk membiayai keluarganya, lalu bagaimana seharusnya pembagian yang sesuai porsi dan adil secara budaya serta syariat Islam ?

Menurut penulis cara yang sesuai adalah pembagian harta pada anak laki-laki dan perempuan dilakukan ketika orang tuanya masih hidup secara hibah, disini tidak ada aturan laki-laki lebih banyak dari perempuan, jadi agar tidak terjadi kecemburuan sosial setiap anak diberi bagian yang sama, sebab yang namanya warisan itu terjadi setelah pewaris itu meninggal dunia, nah setelah harta itu dibagikan secara hibah entah diserahkan langsung atau masih dalam catatan, tentunya mereka sudah tidak iri hati terhadap yang lain, tentunya harta orang tua tidak dihabiskan untuk dibagi-bagikan akan tetapi paling tidak masih ada sedikit untuk mencukupi hidupnya hingga masanya selesai, nah setelah orang tua meninggal harta warisnya tidak terlalu banyak dan setiap anak sudah cukup rata dikasih hibah, saya pikir kalau masih berebut harta warisan yang sedikit itu hanya mereka yang rakus.

Cara yang lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara bagi kaum laki-laki bersedia menyumbangkan sedikit dari bagian mereka kepada kaum perempuan hingga jumlah yang diterima masing-masing sama, contoh kecilnya ada harta warisan 3 juta, anak laki 2 juta anak perempuan 1 juta, agar sama anak laki-laki itu menyumbangkan 500 ribu pada saudara perempuanya, dan hal itu tidak dilarang, yang dilarang adalah merubah ayat-ayat waris yang telah ditetapkan.

Ahli Waris dan Aturan Pembagian

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki[10] (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.

Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan[11] (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.

Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Bagian (1/2) untuk mereka yang menduduki jabatan sebagaimana dibawah ini, dengan syarat-syarat tertentu yang tidak bisa saya sebutkan di bawah ini :

1. Suami
2. Anak Perempuan
3. Cucu perempuan keturunan laki-laki
4. Saudara kandung perempuan
5. Saudara perempuan se ayah

Bagian (1/4) berhak bagi mereka yang menjabat sebagaimana dibwah ini, dengan syarat-syarat tertentu pula :

1. Suami
2. Isteri

Bagian (1/8) bagi mereka yang menduduki jabatan dibawah ini jika memenuhi syarat-syarat yang ada :

1. Isteri

Bagian (2/3) bagi yang menduduki jabatab di bawah ini, juga dengan syarat yang harus dipenuhi :

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih

Bagian (1/3) untuk mereka yang memenuhi syarat dari jabatan :

1. Ibu
2. Saudara ( baik laki-laki atau perempuan )se ibu

Bagian (1/6) untuk mereka yang tersebut dibawah ini dengan catatan memenuhi syarat yang ditentukan :

1. Ayah
2. Kakek asli (bapak dari ayah),
3. Ibu
4. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
5. Saudara perempuan seayah
6. Nenek asli
7. Saudara laki-laki dan perempuan seibu.

Adapun bagian-bagian yang tidak penulis cantumkan bisa diteliti sendiri pada buku-buku fiqh yang ada dan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing ahli waris, adakah mereka berhak atau bahkan terhalang dan sebagainya.

Dari Komposisi diatas dapat kita hitung bahwa perempuan secara umum mendapat porsi waris yang lebih banyak disbanding laki-laki, coba perhatikan secara seksama hasil rekap ini:

Bagian Laki-laki Perempuan
(1/2) 1 4
(1/4) 1 1
(1/8) 0 1
(2/3) 0 4
(1/3) 1 2 [12]
(1/6) 3 4

Tanpa saya menjumlahkan porsi diatas, tentunya pembaca sudah sangat jelas melihat perbedaan yang mencolok, bahwa perempuan berkesempatan besar dalam hal wari-mewaris menurut Islam, hanya saja terkadang hal itu tidak disadari bahkan masih mengklaim aturan Islam tidak adil dalam warisan terhadap wanita.

Penutup

Tak perlu kiranya kita berebut harta warisan, tapi terimalah sesuai porsinya, sebab harta itu bukanlah hasil kerja kita, hanya sebuah harta yang nganggur karena ditinggal pemiliknya.

=========================>>>>>

[1] Lembar kerja ini disampaikan dalam kajian sepuluh harian Al Fikr Study Club Departemen pendidikan Fismaba Mesir 2005-2006, pada hari Ahad, 20 Agustus 2006, bertempat di aula fismaba 10th District, Nasr City, Kairo, Mesir.

[2] Warga Fismaba yang saat ini tercatat sebagai Mahasiswa tingkat akhir, Al Azhar Al Syarif University, Fak.Ushuluddin, Jur. Tafsir.

[3] Yang dimaksud perempuan elite disini adalah Istri-istri atau selir raja-raja saat itu.

[4] Dr.Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islami Wa Adilatuh, h.7696

[5] QS: (27) An Naml : 16

[6] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam

[7] QS : (4) An Nisa’ : 11

[8] QS : (4) An Nisa’ : 12

[9] QS : (4) An Nisa’ : 176

[10] Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.

[11] Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.



[12] Saya katakan dua dengan perincian Ibu dan saudara perempuan


4 komentar:

  1. DH
    mohon informasi atas kasus pembagian warisan kakek (nama A) dalam keluarga saya sbb :
    1. pertama-tama saya jelaskan dahulu ahli waris dlm keluarga kami
    1. saya adalah cucu dari lima bersaudara dan 4 laki dan 1 perempuan dari nama B
    2. kakek mempunyai istri pertama yg mempunyai 2 anak laki ; laki pertama (nama B) mempunyai anak 5 dan laki kedua (nama C) mempunyai 2 anak ; nenek sudah meninggal lama
    3. kakek nikah kembali mempuyai istri kedua dan mempunyai 2 anak laki ; laki pertama (nama D) mempunyai 4 anak dan laki kedua (nama E) mempunyai 1 anak
    4. jadi posisi saya dalam hal ini adalah cucu dari A dan anak dari B
    2. A sudah meninggal
    3. orang tua saya (B) sudah meninggal terlebih dahulu sebelum A dan B semasa hidup pernah diberikan rumah oleh A namun sudah dijual
    4. saat ini semua harta warisan milik A dikuasai oleh C (paman) dari surat sertifikat dan lain2 harta peninggalan yang ada
    5. C tinggal di salah satu warisan A
    6. Kakak perempuan saya (anak B) tinggal di salah satu warisan A
    7. C dan istri

    yang mau saya tanyakan :
    • bagaimana pembagian warisan menurut islam dan perdata yang adil, karena C menguasai dan tidak mau memberitahukan/menunjukan bentuk surat kepemilikan yang dikuasai (secara fisik) oleh C
    • apakah no 2 diatas merupakan warisan? Karena anggapan C & D bahwa rumah pemberian A ke B (butir 2) adalah termasuk warisan ; jadi tidak boleh minta lagi warisan A setelah meninggal, kalaupun diberikan warisan jumlahnya tidak sama antara C,D,E karena kami adalah cucu (B sudah meninggal) ; menurut pengertian saya warisan adalah segala sesuatu urusan/barang yg ditinggalkan setelah seseorang meninggal dunia; yang menurut saya karena kakek (A) mempunyai anak laki (B,C,D,E) warisan harus dibagi rata, namun problemnya B sudah meninggal, dan saya anak dari B

    sementara demikian dan terima kasih

    Salam
    PSO

    BalasHapus
  2. Sekedarinformasi buat bapak.

    Warisan ada 3 macam, secara Islam, Adat dan UUD.

    Bapak terlalu ngelantur memberi soal kalau dalam tataran warisan islam, warisan itu ada ketika ada yang mati, dan dalam soal yang bapak ajukan,tidak jelas siapa yang mati, siapa posisi yang mati, sejak kapan?

    Kalau pembagian warisan terlambat dan ahli warisnya sudah menyusul mati, saya pikir orang yang mati tidak berhak mendapat warisan, soal hibah (pemberian dimasa hidupnya pemilik harta) bukan termasukwarisan.

    itu dulu

    BalasHapus
  3. yang meninggal orang tua saya (nama B) tahun 1983, orang tua mempunyai bapak (nama A) yaitu kakek saya yang meninggal tahun 1996; warisan adalah dari kakek (nama A)
    apakah cukup jelas pak?

    BalasHapus
  4. shanti ekavianti

    Assalamu Alaikum

    Pak Mualim,

    maaf saya mau tanya tentang warisan. saya sudah baca blognya tapi belum mengerti.

    untuk lebih gampangnya studi kasus saja:

    a. kalo suami meninggal, pembagian warisan bagaimana?ada istri 1, anak perempuan 1, ada ortu suami, dan saudara suami (laki2 dan perempuan)

    b.kalo istri meninggal, bagaimana? ada anak perempuan 1, ortu dan sodara laki-laki 1.

    trimakasih atas jawabannya.

    Best Regards,
    Shanti

    ===============================

    mbak, untuk memabtu sementara saya kirimkan link ini

    http://www.bahagi.com/fss.htm

    http://members.aol.com/IslamicSoftware/irthie.html

    http://www.bahagi.com/

    itu dulu mbak, saya takut menjawab salah, lain waktu akan saya bukakan buku saya, insyaallah, setidaknya bisa saya jelaskan sedikit begini.

    istri = zaujah 1/8
    anak perempuan = bintun 1/2
    ortu laki = abun (ayah dari mayit) 1/6
    ortu pr = ummun (ibu dari mayit) 1/6
    saudara pr = ukhtun 1/3
    saudara lk = akhun 1/3

    hanya saja perlu dijelaskan, saudara kandung atau saudara seibu, atau seayah.
    itu untuk point a

    kalo istri meninggal?
    berarti ada suami = zauj 1/4
    anak pr = bintun 1/2
    mertua lk = tidak dapat
    mertua pr = tidak dapat
    saudara dari sauami = tidak dapat
    saudara pr dari sauami = tidak dapat

    begini kira-kira jawabannya untuk point a:
    semua mendapat bagian

    untuk point b, hanya zauj dan bintun saja yang dapat

    jika kurang jelas mohon dikaji kembali

    BalasHapus

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer