09 November 2007

Pergeseran Moralitas Budaya Pesantren

Pergeseran Moralitas Budaya Pesantren
oleh : Mochammad Moealliem

Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren" (Paramadina-Jakarta, 1997), menyebut bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi.

Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur. Yakni santri, pondok atau asrama tempat tinggal para santri, serta kiai atau pimpinan pesantren tersebut. Dalam tradisi, kiai adalah pusat dari kehidupan pesantren. Kiai juga menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitarnya. Baik dalam intelektualitas, religiositas, maupun sosial. Maka pesantren dan kiai mempunyai peran besar dalam sejarah bangsa ini.

Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali -diantaranya kemudian disebut wali songo atau sembilan wali-menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.

Sistem pendidikan dalam pesantren bermacam-macam. Sistem tradisional, yaitu sistem pendidikan yang masih menganut tradisi nenek moyang seperti halnya sorogan, ngaji weton, dan lain sebagainya. Dan system ini sampai sekarang pun masih banyak yang melestarikannya terlebih di pesantren-pesantren pedesaan. Namun banyak pesantren diperkotaan, pada saat ini mulai memodernkan diri agar dapat memenuhi tuntutan zaman yang sudah terlalu cepat hingga pesantren tak dapat mengejar ketertinggalannya dari pendidikan non pesantren. Ada pula pesantren yang berusaha menggabungkan kedua system ini dengan tujuan para santri mampu mengeruk pengetahuan dari dua sisi yang tidak dilakukan di luar pesantren.

Namun pada tahun-tahun terakhir ini minat untuk masuk pesantren merosot drastis kecuali pesantren-pesantren yang masih benar-benar mampu mengantarkan santrinya pada harapan orang tua meraka. Sebab diakui atau tidak kebanyakan santri tidak bisa berbahasa arab apalagi bahasa inggris, membaca kitab pun masih bergantung pada catatan miring yang tanpa pernah meneliti apakah maknanya benar atau tidak, dengan alasan tidak sopan merubah makna dari guru, dan lagi banyak yang bisa baca kitab akan tetapi tidak faham maksudnya terlebih lagi mengamalkanya.

Faktor-faktor tersebut dikarenakan banyaknya para bapak kyai yang dalam hal ini merupakan pusat kehidupan pesantren terlalu sibuk dengan urusan luar akibatnya para santri berjalan tanpa arah. Terlebih ketika para kyai menjadi tokoh utama untuk meraih massa dalam pemilu, bisa dibayangkan betapa padatnya jadwal untuk kampanye, dan selalu mengalahkan santri yang menjadi tanggungjawabnya, dan santri pun tak pernah merasa dirugikan bahkan terkadang merasa berlibur dan membanggakan betapa hebatnya bapak kyai menyulap asrama tempat tinggal para santri menjadi hotel, namun penghuninya tak lebih bermutu dari sebelumnya.

Faktor yang lain terlihat dari para santri pesantren yang sudah kehilangan moral kepesantrenannya, bukan lagi santri yang bisa mengikuti arus akan tetapi menjadi yang terbawa arus dan menganggap pesantren adalah sebuah penjara, sehingga tidak sedikit para santri pesantren setelah keluar dari pesantren dengan bebas melakukan hal-hal yang pernah dilarang di pesantren, bahkan mereka adalah yang melarangnya saat masih di pesantren, itu dari sisi yang paling buruk, dari sisi kelemahan yang lain hilangnya identitas ketika berada di lingkungan modern, sebab tidak bisa berbicara dengan bahasa lingkungan yang ada, atau menjadi santri yang gagap technology,

Hal-hal semacam itulah yang menyebabkan para orang tua santri berfikir ulang untuk memasukkkan anaknya ke dalam pesantren, terlebih zaman technologi sudah menyebar hingga di pelosok kampung, ketika pesantren tak lagi ada bedanya dengan non pesantren bukankah mereka akan memilih sekolah yang umum dan jelas arahnya. Dan para orang tua tak ingin anak mereka menjadi Al qur'an yang rusak, di baca nggak bisa, di buang pun berbahaya.

Tidak sedikit pula alumni yang membuat saya iri melihatnya dalam sebuah diskusi, dengan umur yang mereka lebih muda namun punya pengetahuan yang luas, bahasa yang lancar, mental yang kuat, dan setelah saya pikir, pesantren mereka lebih bagus metode pendidikanya atau bisa jadi saya yang terlalu bodoh, padahal mereka di pondok hanya beberapa tahun saja. Dalam diskusi saya sempat minder melihat buku-buku yang menjadi rujukan mereka yang aku pun baru tahu judulnya ketika mereka mengatakannya.

Terlebih ketika dalam diskusi bahasa arab atau bahasa inggris kebanyakan alumni pesantren yang masih tradisionil tak dapat menangkap tema yang sedang dibahas, apalagi sampai bertanya, hal ini akan anda saksikan nanti ketika anda sudah keluar dari pondok pesantren. Dan anda akan merasakan betapa sedikitnya pengetahuan yang anda miliki dengan menghabiskan umur anda di pondok pesantren, kejarlah mulai hari ini agar ketertinggalan anda tidak terlalu jauh meski tidak dapat mengimbangi mereka.

Maka untuk itu, perlu kiranya pesantren saat ini mampu menyediakan fasilitas yang cukup untuk mengejar ketertinggalan dengan yang lain, membuat metode yang bagus, membiasakan para santri berbahasa asing dilingkungan pesantren hal itu akan sangat membantu mereka dalam penggunaan bahasa, membiasakan santri terpaksa membaca buku sendiri akan menjadi kebiasaan santri dengan tidak terpaksa nantinya, agar tidak hanya bergantung pada guru dalam memahami sebuah pelajaran, penyediaan perpustakaan yang memadahi, dan menerapkan kedisiplinan dalam pembagian waktu.

Akan tetapi hal itu pun belum cukup, jika santri saat ini tidak sadar akan ketertinggalanya dan hanya belajar ketika ujian sudah didepan mata, membaca buku pun tak pernah merasa butuh, membaca Al qur'an pun masih dengan terpaksa, apalagi sampai mengkaji permasalahan-permasalahan yang sedang berkembang, pada akhirnya setelah lulus hanya mendapat ijazah tanpa ilmu yang mumpuni, dan menjadi orang yang tidak ahli dibidang keagamaan begitu pula dibidang umum.

Managemen pengelolaan pesantren haruslah mengikuti perkembangan zaman dan mengerti kemauan pasar, punya cita rasa khas baik dalam bahasa asing atau pemahaman terhadap teks-teks berbahasa arab atau bahkan bahasa yang lain. Pemahaman Al qur'an harusnya menjadi yang utama dalam pesantren terlebih menghafalnya, lalu kemudian mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari sejak di pesantren itu.

Sebab jika tidak bisa memanage pesantren dengan benar, akan terjadi asimilasi kebudayaan yang salah yang diakibatkan kebiasaan buruk mereka dari rumah ataupun dari sekelompok mereka yang bertemu di pesantren dari berbagai daerah, terlebih dalam pesantren yang plural masyarakatnya. Hal ini akan menjadikan budaya santri kabur akibat campur baur dan tidak dapat lagi membedakan hal seperti ini layak atau tidakkah di sandang santri.

Pergeseran moral budaya pesantren tak akan pernah berhenti sampai disini, akan tetapi akan terus maju beriringan dengan majunya zaman, sebab pesantren merupakan muara tempat bertemunya berbagai macam masyarakat beserta budaya dan bahasanya, tentu akan terdapat kelebihan dan kekurangan. Dan perlu kiranya para santri sadar akan dirinya yang menjadi misionaris islam, dan moral bangsa Indonesia akan menjadi tanggungjawabnya.

Pondok pesantren merupakan sebuah bengkel untuk penyempurnaan Akhlaq Al Karimah jika bengkelnya rusak tentunya tidak dapat menyempurnakan yang seharusnya. Dan juga merupakan sebuah halte untuk mengisi bahan bakar untuk perjalanan perjuangan dijalan Allah, namun jika bahan bakarnya tak tak ada, bisa dipastikan hal itu tak akan berjalan, apalagi mencapai tujuan hanya akan menjadi impian yang tak pernah terealisasikan, Waallahu a'lam.

Moch.Moealliem
Program S1, Fak. Theology, Al Azhar University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer