12 November 2007

Mengambil Buah Dari Arab

Mengambil Buah Dari Arab
Oleh : Mochammad Moealliem

Sewaktu aku kecil kakekku punya tiga pohon kurma yang lumayan tinggi, daun-daun serta rantingnya pun pernah berfungsi dalam berbagai kebutuhan bahkan terkadang sebagai alat pengobatan, aku pernah melihat pohon itu berbunga, namun ternyata tak berbuah, entah mungkin suhu udara yang kurang panas atau tidak tahu bagaimana menjadikan pohon itu berbuah.

Saya jadi teringat lagu kecilku yang berbunyi, "mau makan nasi gudeg Jogja, tak usah pergi ke Jogja, cukup hanya disini kita dapat menikmati", mungkin kita cukup tahu resepnya dan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak gudeg kita tentu dapat menikmatinya meskipun di ujung padang sahara. Hal demikian banyak kita dapati dalam komunitas masyarakat Indonesia di luar negeri, bilamana rindu dengan suasana dalam negeri maka kita tak perlu lagi pulang mudik hanya untuk membeli tempe, tahu, bakso, sate, dan lain sebagainya, kita cukup menyiapkan barang-barang yang mendukung lalu mengimpor yang tidak ada dari Indonesia.

Tempe misalnya, adalah makanan istimewa bagi yang telah lama berpisah dengan pertiwi, dan orang arab (baca:Mesir) tidak memproduksi hal itu. Maka tak perlu lah kiranya mengimpor tempe dari Indonesia, bisa-bisa kalau pakai kontainer, sampai Mesir sudah nggak bisa kepakai, cukup mengimpor raginya saja, soal kedelai apapun negaranya kalau dikasih ragi tempe akan sama hasilnya dengan catatan sesuai prosedur pembuatannya.

Beda negara beda pula budaya, Budaya negeri manapun kalau diberi ragi khusus akan beda warnanya, tak perlu kita membuang budaya yang ada dilingkungan kita dan menggantinya dengan budaya asing secara total, bisa-bisa seperti menanam pohon kurma di tanah jawa. Bahkan bukan hanya budaya saja kita sering mendapati orang-orang mengimpor sacara brutal, namun norma-norma pun terkadang kita lebih merasa norma asing lebih unggul dengan norma Indonesia.

Ah betapa lebih indah jikalau membiarkan pohon-pohon kurma tetap di padang pasir sementara buahnya bisa dinikmati di Indonesia, tanpa harus bersentuhan dengan duri-duri pada rantingnya. Betapa indahnya jika budaya Indonesia dipadu dengan buah budaya luar negeri tanpa efek negatif budaya luar. Betapa indahnya budaya indonesia jika dipadu dengan sentuhan ragi Islami, ataupun ragi-ragi yang lain.

Tidak asing bagi kita bahwa kentang dengan rasa strawbery, tape dengan rasa lemon. Bukankah demikian lebih indah dibanding kalau hanya makan tape dan makan lemon, bukankah sebenarnya kedua rasa itu bertabrakan? Seperti itu jugalah mestinya jika kita mendapati budaya yang bertabrakan, pendapat yang bertabrakan, pemimpin yang bertabrakan.

Terkadang sebagian orang ingin segala sesuatu yang instan, siap pakai, padahal biasanya sesuatu yang instan itu berbahaya. Pertumbuhan manusia saja melalui berbagai tahapan dan proses, kenapa kita menginginkan pertumbuhan budaya kita tanpa tahapan dan proses? Adalah keliru bagiku jika untuk menikmati buah Islam harus berbudaya persis dengan arab, pakaian dengan pakaian arab, makanan dengan makanan arab, bicara dengan bahasa arab.

Islam bukanlah model pakaian, bukan bentuk makanan, bukan pula gaya bahasa, Islam adalah nilai-nilai luhur yang diturunkan dengan seting lingkungan arab. Orang arab dengan orang Indonesia dalam menghormati yang lebih tua punya cara yang berbeda dengan nilai yang sama. Orang Indonesia memanggil yang lebih tua dengan berbagai kata mulai kang, mas, cak, mbak, yu, mpok, keh, de el el. Kalau orang arab tentu tidak seperti itu, saya tidak pernah dengar orang arab manggil kakaknya "ya akhil kabir" sebagai ganti kata "mas".

Betapa setujunya aku dengan peribahasa, lain ladang lain belalang, laik lubuk lain ikannya, namun tetap saja se-udara (baca: sa-udara), biarkan pakaian kita berbeda, bahasa kita berbeda, makanan kita berbeda, yang perlu kita samakan adalah nilai-nilai keluhuran yang ada dalam hati kita. Kalau mau memakai pakaian, pakailah pakaian mana saja, mau arab, jawa, eropa, indonesia, asalkan nilai-nilai luhur dalam diri kita tetap terjaga.

Jika pakaian bisa memberi gambaran hati manusia, tentulah orang-orang yang berdasi tak akan korupsi, orang-orang berjubah tak akan mengobrak-abrik, dan menyesatkan orang lain. Namun apakah demikian? Kebanyakan tidak seperti itu. Biasanya pakaian hanyalah sebagai topeng persembunyian dari keadaan hati yang tidak karuan. Bukankah serigala berbulu domba lebih membahayakan?? Akan lebih aman jika serigala berhati domba.

Biarkanlah Al qur'an turun dengan bahasa orang Arab, asalkan kita bisa mengimpor buahnya. Dikarenakan orang Arab tidak berbahasa jawa, yach jadinya Alqur'an memakai bahasa Arab. " Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya."

Coba kalau orang arab zaman turunnya al Qur'an lisannya bicara bahasa jawa, tentulah makna "qur'anan Arabian" bermakna bahasa jawa, sebab ayatnya bilisanin arobiyin mubin, bukan bi lugotin arabiyatin mubin. Jadi nisbatnya bukan kepada bahasa arab tapi pada lisan orang arab, nah sekarang disebut bahasa arab, jadi deh terjemahnya seperti diatas "dengan berbahasa arab".

Tafsiran itulah yang perlu pembaca koreksi, soalnya saya mencari jalan tengah ketika suatu saat di bulan romadlon kemarin aku menjumpai orang mesir berdebat dengan orang afrika, orang mesir nerjemahin tanpa tahu cara memasaknya, orang afrika nerjemahin dengan bumbu nisbat yang berbeda, jadinya gontok-gontokan disebuah sudut masjid, saya hanya terdengar sejenak, lalu berlalu sambil berpikir.

Beruntunglah nabi tidak bisa banyak bahasa, coba kalau bisa 10 bahasa, maka Al qur'an akan mengikuti lisan nabi dengan sepuluh bahasa. Apa nggak malah susah memahami Al qur'an dengan sepuluh bahasa? Yang pakai satu bahasa aja masih mumet.

Alliem,
Cairo, Senin 15 Oktober 2007
Lisanku jawa meski kadang berbahasa arab


1 komentar:

  1. hehehe... cuma mau bilang...
    sekarang kita disini udah sering makan tempe- tahu- tempe gembos...
    uminya asiya yang bikin sendiri... :)
    tulisane bagus2...

    BalasHapus

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer