09 November 2007

Membangun Diri dalam Peradaban

Membangun Diri dalam Peradaban
Oleh : Mochammad Moealliem

Pernahkah anda melihat bangunan yang belum jadi? Seperti itulah gambaran kehidupan kita selama ini hingga waktu yang ditentukan, pembangunan diri akan berakhir pada batas akhir prosposal proyek yang kita bangun, yang telah disepakati diawal zaman sebelum peletakkan batu pertama, anggaran belanja kebutuhan, bahan material, ongkos tukang, kontruksi bangunan, kekuatan pondasi, ukuran daya tahan gempa, dan lain sebagainya telah ditentukan oleh insinyur utama.

Mungkin kita jadi sadar akan keberadaan kita dalam kandungan, ketika jasad kita mulai dicampur dengan ruh, bagai bahan meterial yang digabung dari semen, pasir, batu dan air, diaduk rata sesuai alat yang ada, ada yang pakai molen ada juga yang manual, ukuran bahan kita juga bervariasi demi kegunaan yang berbeda, mungkin kalau adonan untuk pondasi butuh bahan yang lebih kuat sesuai beban yang akan ditanggungnya.

Jasad tanpa ruh tak akan berarti, pernah lihat ikan arwana yang mahal itu, kalau ikan itu mati, dijual pun tak laku, begitu pula ruh tanpa jasad, tak akan bisa terlihat adanya, hanya menjadi semacam impian dan khayalan. Lalu kemudian ditambahkan akal untuk membedakan manusia dengan hewan, tentunya kita masih ingat konsep dalam ilmu Mantiq, al insân hayawân al nâtiq manusia adalah hewan yang berbicara.

Pondasi hotel pencakar langit tentu berbeda dengan pondasi kios jalanan, jangka waktu pembangunannya pun butuh waktu yang lama untuk pondasi hotel berbeda dengan pondasi kios yang cepat dan singkat, begitu pula manusia jika pondasinya kios dipakai untuk level hotel maka akan segera anda saksikan kehancurannya, pun juga jika pondasinya hotel dipakai untuk kios tentu akan sia-sia.

Dalam pemahaman agama pun seperti itu, jika seseorang pondasinya rapuh dan dipaksa untuk menyangga beban berat, maka akan hancurlah bangunan agama itu, begitu pula jika ada seseorang yang pondasi agamanya kuat namun tidak digunakan untuk beban berat maka akan sia-sia pondasi itu. Begitu juga pesantren sebagai lahan pembangunan gedung manusia berakhlak, hal itu tidak akan berhasil, jika pengasuh pesantren yang menjadi insinyur pembangunan tak punya bahan material berupa ilmu pengetahuan yang mumpuni, apalagi lokasi bangunan pada daerah rawan gempa, longsor, dan banjir, tentu hanya akan menjadi impian yang mudah lenyap dalam ingatan. Dan untuk mewujudkan hal demikian membutuhkan insinyur yang kapabel dengan bahan meterial yang lengkap demi terciptanya pondasi yang kokoh, agar mampu menyangga beban yang akan ditanggungnya.

Jika kita mau melihat bangunan yang belum jadi, kita akan menemukan bangunan itu jelek, kotor, dan nggak enak untuk dipandang mata, namun selagi para tukang masih bekerja menyelesaikan bangunan tersebut hingga batas waktu yang ditentukan alias masih ada waktu, seyogyanya kita tak perlu terburu-buru mengatakan bangunan itu jelek, apalagi dengan suara keras dihadapan khalayak ramai, kenapa demikian? Sebab nanti kalau bangunan itu sudah jadi dan bagus, bisa-bisa kita akan menjilat ludah kita sendiri, memuji-muji sesuatu yang dulu kita menghinanya.

Kita adalah bangunan yang belum jadi, akan jelek dan kurang dimata orang lain, namun dimata kita, hal itu wajar sebab kita yang membangun, dan pandangan orang lain adalah cermin keberadaan kita, asalkan kita selalu berusaha memperbaiki tentunya suatu saat akan menjadi baik dimata orang lain, dan kita akan selalu merasa kurang sempurna dan akan terus membangunnya. Membangun diri tak perlu menunggu orang lain, sebab budaya saling menunggu adalah keterlambatan dalam pembangunan diri, biarkan orang lain berkata apa, atau berbuat apa, bangunlah dirimu ketika mereka leha-leha, dan nanti kau akan leha-leha sementara mereka masih membangun dirinya.

Pondasi bangunan hotel perlu waktu, seperti juga konsep menuntut ilmu butuh waktu yang lama, alâlâ tanâlul ilma illâ bisttatin, saunbika an majmuihâ bibayani, dzakâin wa khirshin was tibârin wa bulghoti, wa irsyâdi ustâdin wa thuluz zamâni . Jika kita tidak memiliki pondasi yang kuat dan siap, tentunya kita akan hancur ketika terkena getaran, gempa, ataupun angin ribut wacana yang sedang berkembang, dan mungkin kita akan menutup diri, bahkan terkadang merasa paling benar, tanpa mengingat konsep, bahwa diatas langit masih ada langit.

Penjagaan bangunan pun harus mengikuti perkembangan zaman, perlindungan diri pun harus kuat, alat pelindung telah ada pada diri kita semua, yaitu "akal" hanya saja alat itu tak akan melindungi kita, jika kita tidak mengoperasikannya, sebagaimana program antivirus dalam komputer, tak akan berfungsi jika kita tidak meng instalnya, dan perlu untuk di update agar bisa mendeteksi virus-virus modern, yang sangat sulit dilihat, bagaikan sulitnya melihat hilal ramadan yang selalu membingungkan dan menjadi perdebatan.

Kalau zaman dulu akal diibaratkan pedang dalam pertempuran, setajam apapun pedang itu, jika kita tak menggerakkannya tentu tak akan dapat melindungi kita. Mari kita gerakkan otak kita, dan latihan bertempur sekaligus mengasah ketajaman akal kita dengan diskusi, berpendapat, berargumen, berdasar serta mengusai cara penyampaian yang indah, Marilah kita menjadi manusia, sebab jika kita tidak nâtiq (berbicara) maka tak ada bedanya dengan hewan yang hanya makan tidur jadi tujuan.

Alliem,
Rabu, 01 November 2006
Yang masih belum jadi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer