09 November 2007

Menjemput Berkah dibulan penuh Rahmah

Menjemput Berkah dibulan penuh Rahmah
Oleh : Mochammad Moealliem

Allah Berfirman : “bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” QS : Al Baqarah(2) : 185

Kata Ramadhan diambil dari salah satu nama Allah, itulah pendapat Mujahid, maksudnya bulan ramadhan adalah bulan Allah, diriwayatkan dalam sebuah hadith : jangan kalian katakan Ramadhan datang dan Ramadhan pergi, tapi katakanlah bulan Ramadhan datang dan bulan Ramadhan pergi. Pendapat yang lain, Ramadhan hanyalah nama bulan seperti Rajab, Sya’ban dan yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa bulan ramadhan diambil dari istilah yang ada pada waktu itu, yang punya makna hujan yang mensucikan bumi, maka bulan Ramadhan adalah bulan hujan rahmah untuk mensucikan umat dari dosa-dosanya, bukan hanya itu makna dari kata Ramadhan, lebih lengkapnya baca tafsir Ar Razi.

Bagaimana masyarakat muslim Indonesia ketika awal Ramadhan diumumkan? sebuah pertanyaan yang membuatku kikuk harus menjawabnya ketika diwawancarai Nile tv littanwir, memang sehari sebelumnya (Ahad 11/9/06) penulis sempat kaget ketika mendapat panggilan dari mantiqah 3 ( kantor mini district di dalam Islamic Mission City) kantor pegawai negeri untuk mengurusi mahasiswa asing dalam asrama, kebetulan gedung yang penulis tempati masuk dibawah naungan mantiqah 3, Masih saja kekagetan campur bingung itu belum reda, otakku memberi saran untuk bertanya lagi pada penjaga absensi makan siang, biasanya kalau dipanggil mantiqah adalah bagi mahasiswa yang tidak mengambil makan lebih 3 hari, kebetulan penulis juga 3 hari di luar asrama, namun jum’at dan sabtu adalah hari libur, jadi cuman terhitung absen sehari.

“Ya ammu...ana takholluf wala eih? om...apa saya tahalluf ( melebihi kuota 3 hari), dia menjawab : Laa ya muhammad, bass enta rukh mantiqah. Enggak kok muhammad (panggilan penulis diasrama) cukup ente pergi aja ke mantiqah, Akhirnya iseng-iseng aja aku ke mantiqah dengan menyembunyikan penasaran dalam hati, sambil pura-pura lihat surat-surat berserakan yang berjajar menanti empunya dimeja pojok ruang kantor, barangkali penulis dapat surat yang pertama dari seseorang he he he, tak lama kemudian aku dipanggil sama petugas, ya andunisi...(begitulah gaya sok akrabnya) akhirnya aku dikasih beberapa kertas yang menempel beberapa pertanyaan yang harus aku jawab dan aku serahkan besok hari pukul 11.00 wk.

Malam pun larut dalam gelap kupandangi pertanyaan itu berulang kali, dan untuk apa hal itu? memang bukan aku saja yang mendapat tugas demikian tapi keliatanya tiap-tiap negara dapat tugas seperti itu, bahasa arabku pun terasa kurang cocok untuk bicara hanya pantas untuk membaca, akhirnya dengan sedikit reproduksi otak, penulis menjawab beberapa pertanyaan yang ada dalam lembaran-lembaran itu. Sebagian jawaban penulis adalah tentang jumlah penduduk indonesia 210 juta, dan muslimnya 90 % atau sekitar 189 juta, dan menjadi jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, disebarkan oleh para wali Allah yang terkenal dengan sebutan “al auliya at Tis’ah” walisongo, penyebar islam pada permulan di Indonesia.

Lalu apa permasalahan-permaslahan dalam berdakwah di Indonesia? penulis katakan, diantara masalahnya adalah faktor budaya, bahwa budaya Indonesia berbeda dengan budaya mesir juga arab pada umumnya, Indonesia punya budaya asli Hindu dan Budha, maka dalam dakwah pun harus bisa menjadikan antara Islam dan budaya setempat cocok atau tidak bersinggungan keras terhadap budaya yang ada, sebab ketika bertentangan dengan budaya maka dakwah itu akan gagal, itulah sebagian kecil wawancara tiban itu.

Pertama kali ini saya merasakan betapa panas lampu sorot kamerawan itu, wawancaranya sih cuman 4 menit tapi selama sekitar 15 menit penulis harus dijadikan target lensa kamera, mungkin aja mereka ingin melihat bagaimana penulis keliatan ganteng he he he, dan seperti apa suaranya, kaya satu-satunya orang Indonesia saja, wuih panas banget, depan lampu belakang lampu, padahal beground nya cuma dinding serambi masjid asrama, yang penuh dengan pengumuman, didepan penulis ada kamera dan ada seorang penanya, penulis pun jadi bingung harus menghadap kemana? (maklum belum terbiasa) , seorang reporter perempuan menyampaikan pertanyaan, namun karena nggak bisa penulis faham secara jelas, akhirnya penulis minta ganti reporter yang laki-laki dan memakai bahasa fushah, namun ternyata pertanyaan itu berbeda dengan yang ada di lembaran, jadinya penulis kalang kabut untuk menjawabnya dengan bahasa mereka, aku pikir andai saja pakai bahasa Indonesia akan aku tunjukkan bahwa Indonesia layak menjadi barometer muslim modern .

Menurut anda apakah jawaban saya kurang tepat? jika kurang mari kita diskusikan, barangkali nanti penulis atau bahkan pembaca akan mengalami hal demikian. Haruskah jawaban kita sesuaikan dengan seting seorang penanya, atau seting kita?

Jika kita mengikuti seting mesir kita kelabakan ketika ditanya kemeriahan awal ramadhan, sebab budaya kita adalah kemeriahan akhir ramadhan atau idul fitri, dan memang terkadang orang arab merasa lebih unggul dari yang lain, masa mereka bilang budaya Mesir yang manakah, waktu ramadhan sebagaimana anda lihat, yang budaya itu ingin ada di negaramu? aku cuman jawab satu yaitu maidaturahman.

Maidaturahman, apaan sih?

Alliem,
Rabu, 13 September 2006
Menyongsong bulan Berkah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer