07 November 2007

Sang Guru 3


Sang Guru 3
Oleh : Mochammad Moealliem

Seputar Campus


"Enta bita'mil ih yabny" dengan nada datar orang itu bertanya pada aku dan seorang temanku, namun karena aku nggak begitu jelas lalu orang itu mengulang pertanyaannya dengan yang lebih resmi "madza taf'al"? (apa yang kerjakan) dengan senyum malu aku jawab "ana ashuf bass" (aku cuman liat-liat) itulah diskusi singkat dengan penjaga perpustakaan ushuluddin al azhar university.

Waktu itu ceritanya aku sedang kuliyah, meski mataku terlihat agak redup akibat tidur yang kurang, dengan buru-buru aku berangkat kuliah setelah sarapan sedikit roti, sampai dikuliah aku langsung cari tempat duduk sebab biasanya aku nggak bisa masuk ruangan kalo dosennya sudah hadir, sebab mata kuliyah yang satu ini memang begitu menggoyang otak, tidak cukup rasanya hanya membaca diktat yang ada.

Ruang yang begitu sempit (dalam ukuran ruang kelas internasional) makin sempit lagi ketika meja kursi ikut nimbrung didalamnya, meski sekitar 6x8 meter ruang itu, tetap saja tak mampu menampung mahasiswa yang kuliah hari itu, sebenarnya sudah dibagi menjadi 6 ruang namun mereka bebas mau ikut dosen yang mereka suka, nah kalo saya dosennya siapa saja yang penting modelnya sama, ketepatan waktu itu banyak yang mengejar materi ini, so fenuh menn!.

Kuliyah pun berjalan dengan tenang dalam artian mereka yang penuh sesak dalam ruang itu benar-benar menyimak dengan methentheng (serius) meski sampai berdiri dibibir pintu dan gaya-gaya lainnya. Adalah biasa jika mahasiswa mempersempit ruang gerak para dosen (ruang untuk berjalan-jalan) sebab saking penuhnya sampai pada duduk dekat dosen atau satu meteran dengan jarak dosen menyampaikan materi kuliyah.

Lintas warna kulit, bahasa, madzhab, kewarganegaraan, terlihat mewarnai ruangan itu, materi pun berjalan dengan cepat, meski kadang terpotong pertanyaan mendadak dari para mahasiswa itu, akhirnya satu materi pun selesai dan segera dengan materi lain. namun ada yang memberi informasi materi yang selanjutnya berada di mudarroj (aula) lantai 1 atau seperti gedung bioskop namun berjenis biasa atau berlantai dan berkursi kayu, akhirnya aku dan temenku turun dari lantai 4 menuju mudarroj lantai satu sebab setiap lantai dalam fak.ushuludin memiliki banyak ruang kelas dan satu mudarroj.

Sampai di mudarroj ternyata masih di pakai pada mata kuliyah yang sama dengan ruangan yang baru aku tinggalkan namun dengan dosen yang berbeda, ruangan yang lebar itu (sekitar 20x16 meter) menjadikan ruangan kelas kosong, sebab pada ngumpul di ruangan yang besar itu, meski kurang begitu jelas suara dosennya waktu itu, sebab sound sistem nggak layak pakai waktu itu, namun penyampaian materi tetap berjalan normal sebab pada methentheng.

Sambil menunggu sesi berikutnya aku pun ikut nimbrung sekalian disitu, namun tak lama kemudian mata kuliyah itu selesai juga, lokasi pun agak lebih longgar namun setelah agak lama aku tunggu namun belum juga mulai materi ini, akhirnya aku coba turun lagi kelantai bawah tanah yang terdapat perpustakaan besar disitu, aku pun masuk bersama temenku. aku sempat heran melihat koleksi buku-buku yang begitu banyak mulai dari yang model cetakan lama sampai model yang baru tertata rapi meski agak berdebu maklum disitu adalah tempat tempat mangkal mereka yang sedang menulis pada program s2 maupun s3.

Ruang perpust yag setara dengan mudarroj itu (maklum tepat berada dibawahnya) terpenuhi dengan barisan ide-ide bisu yaang perlu dibaca agar menjadi hidup, terlihat di ruang baca bebapa orang Indonesia juga orang mesir juga yang lain sedang memindah tulisan yang mereka butuhkan untuk mendukung karya-karyanya mereka menikmati buku-buku tua itu.

Setelah puas aku melirik judul yang terpampang disampul tanpa membaca isinya kuajak temanku kembali keatas, namun tatkala kami keluar dari perpust itu penjaga perpust itu bertanya pada kami yang kembali dengan tangan kosong (nggak ngambil buku untuk di baca diruang baca) lalu mereka berkata seperti yang aku tulis di atas.

Belum sempat menginjak tangga aku dan temanku mendapati ruangan perpust lagi dibagian yang berlawanan dengan yang baru saja aku masuki kami pun tak mau di ganggu oleh sebuah penasaran, akhirnya kami menuju kesana, baru masuk pintu ruangan itu seorang penjaga langsung berkata: "ruangan sedang dipakai muhadloroh". tanpa pikir panjang aku urungkan niat kami untuk mengulang peristiwa yang baru terjadi diruang sebelahnya tadi. Dan memang benar apa yang penjaga katakan terlihat dosen yang mengajarku pagi tadi masuk kesitu mendahuluiku beberapa langkah dan terlihat langsung menghampiri kumpulan mahasiswa yang sedang menunggunya diruangan baca yang kebetulan berada satu lokasi dengan buku-buku yang tertata rapi disana.

Kalau dipikir sebenarnya kalau mau pinter itu teorinya sangat mudah, tinggal sering-sering baca lalu mendiskusikan, namun pada prakteknya hal itu terasa susah, nggak susah bagaimana? kalo membaca aja males mana mungkin bisa mendiskusikan, paling banter jadi penonton plus pendengar setia yang tanpa tahu apa yang dibahas itu sesuai atau tidak, itulah yang kualami dulu dan sampai kemari waktu ikut bahsul masail di PCINU mesir, padahal aku lihat mereka juga sama-sama seperti aku, yach nggak seberapa takut lah aku dengan mereka, mereka juga nggak membawa lembaran ta'bir mereka tentang yang dipersoalkan.

Hanya beberapa saja yang membawa catatan pendukung atas pendapatnya ada juga yang memakai gaya putar-putar untuk mengganti ta'bir yang lepas dari catatan mereka, namun aku masih saja kembali diam, dan kembali muncul rasa takut salah padahal diakhir acara ternyata bahsul masail itu hanya untuk melatih kita untuk bisa istinbatul hukm bukan memutuskan hukum, sebab mereka dan aku masih terlalu bodoh untuk merumuskan hukum, yach itulah catatan kebodohanku yang masih stagnan.

alliem
Sedang melihat debu yang menari




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Katakan pendapatmu kawan

10 Artikel Populer